A. PENDAHULUAN
Dewasa ini kondisi pendidikan kita memprihatinkan yang ditandai dengan menurunnya mutu pendidikan. Menurunnya mutu pendidikan akan berdampak pada kualitas lulusan yang selanjutnya mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Oleh sebab itu, kualitas tenaga kerja Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain, meskipun di era masa lalu Indonesia pernah mengekspor tenaga ahli khususnya tenaga pengajar ke negara Malaysia. Anehnya pada era otonomi ini kualitastenaga ahli dan guru Indonesia tertinggal jauh dengan kualitas tenaga ahli dan guru di Malaysia.
Sebenarnya telah lama pemerintah menyadari terjadinya penurunan mutu pendidikan di Indonesia. Menghadapi keadaan itu, pemerintah berusaha keras melakukan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena itu, setiap GBHN dan Repelita maupun Propenas selalu dirumuskan bahwa salah satu prioritas pembangunan adalah peningkatan mutu pendidikan. Begitu concernnya peningkatan mutu pendidikan, maka berbagai inovasi dan perbaikan pendidikan dilakukan antara lain penyempurnaan kurikulum, pengadaan bahan ajar, pengadaan dan penyempurnaan fasilitas pembelajaran, peningkatan mutu guru maupun perbaikan kesejahteraan guru.
Namun demikian, meskipun telah banyak dilakukan perbaikan, ternyata mutu pendidikan belum menggembirakan. Banyak indicator yang menunjukkan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Menurut Tim Broad-Based Education (BBE) Depdiknas (Tim BBE, 2002: indikator rendahnya mutu pendididkan di Indonesia, antara lain:
- NEM SD sampai Sekolah Menengah relatif rendah dan tidak menunjukkan kenaikan yang berarti,
- adanya keluhan dari dunia usaha bahwa lulusan yang memasuki dunia kerja belum memiliki kesiapan kerja yang baik,
- adanya ketidakpuasan yang berjenjang, dimana pihak SLTP merasa bekal lulusan SD kurang baik untuk memasuki SLTP, kalangan Sekolah Menengah merasa bekal lulusan SLTP tidak siap untuk mengikuti pembelajaran di Sekolah Menengah, demikian juga pihak perguruan tinggi merasa bahwa lulusan Sekolah Menengah belum memiliki bekal yang cukup untuk mengikuti perkuliahan diperguruan tinggi,
- adanya gejala lulusan SLTP dan Sekolah Menengah mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga mereka ini menjadi penganggur.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga dapat diketahui dari Human Development Report, yang menyatakan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Developemnt Index) Indonesia berada pada urutan ke 105 dari 108 negara yang disurvei (Kompas, 5 April 2001, sedangkan untuk tahun 2004 posisi Indoensia berada pada urutan ke 111 dari 177 negara yang disurvei (Human Development Report 2004). Hasil studi the Third International Mathematics and Science Study Repeat (TIMSS-R) melaporkan bahwa untuk bidang matematika siswa SLTP Indonesia berada di urutan 34 dan untuk IPA di urutan 32 dari 38 negara yang disurvei di Asia, Australia dan Afrika (Depdiknas, 2001). Rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia dapat juga diketahui dalam pertukaran tenaga kerja, dimana Indonesia hanya mampu mengirimkan tenaga kerja kelas bawah, atau tenaga kerja kasar, misalnya untuk pembantu rumah tangga, buruh pabrik, sopir, tenaga bangunan dan berbagai jenis pekerjaan “blue collar”, sementara itu tenaga kerja dari negara lain yang masuk ke Indonesia merupakan tenaga ahli ataupun tenaga kerja yang professional, sehingga mereka ini mampu menempati posisi jabatan “white collar”.
Berbagai indicator tersebut di atas, menunjukkan kepada kita bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peranan guru sebagai pelaku utama proses pendidikan disamping factor lainnya, antara lain kualitas dan karakteristik input, lingkungan serta sarana dan prasarana. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa factor guru merupakan factor yang dominan dalam menghasilkan mutu lulusan. Diduga salah satu factor guru yang menyebabkan rendahnya mutu lulusan adalah rendahnya kompetensi guru. Dugaan ini diperkuat, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Blazely dkk (1997), yang melaporkan bahwa pembelajaran di sekolah cenderung sangat teoretik dan tidak terkait dengan lingkungan dimana anak belajar. Hal ini berakibat peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang telah dipelajari di sekolah guna memecahkan permasalahan yang muncul dalam kehidupan.
Download artikel selengkapnya disini